Ikhlas Cintamu Meyakinkanku, Bahwa Jarak antara Kita Berdua Ini Pasti akan Terhapus
| 20.21.00 |
Sore ini cerah, secerah saat  kita berdua dipertemukan setelah dua 
semester kita diuji jarak. Bus  sekolah kuning pucat yang gagah ini, 
dengan para penumpangnya yang  terlelap nyenyak, atau sibuk dengan 
ponselnya, mendengarkan lantunan  musik lewat sepasang earphone-nya dan 
juga sepasang muda yang girang  bercengkrama tentang kemudaan, selalu 
senantiasa mengantarkanku ke  kampus gudang ilmu. 
Semua menjadi pemandangan rutin dalam sekotak kendaraan beroda 4 ini.  
Aku yang berdiri tepat di pintu bus, hanya mampu menikmati biru langit  
dengan vertikal hijaunya jejeran pohon rindang lewat kaca jendela yang  
mengernyit saat melewati jalanan yang ‘tak rata. Sinar matahari senja  
yang berani menerobos kaca-kaca bening ini, menyapa wajah lelahku,  
membuatku menutup mata sejenak, membiarkan ia menghangatkanku.

Dalam pejam netra sekejapku, sosokmu kembali muncul. Suara tawa ringanmu saat itu, tatapan tajam sepasang bola matamu dan lambaian tangan itu, semua mengacaukan batas antara kenangan dan kenyataan. Menguatkan dan melemahkan dalam satu saat yang bersamaan.
Saat dimana aku merasa punya segalanya namun aku berupaya beranjak  
menjauh dari itu semua. Saat dimana aku ingin menolak apa yang selama  
ini aku panjat doakan. Berat langkah kakiku menuju. Berat tatapan mataku
  beralih adu. Hingga basah terasa di ujung mata sayu, menyadarkanku  
bahwa aku telah ‘tak lagi di situasi itu.
Garis cakrawala samar terlihat mencoba melawan lekuk menawan siluet  
pemandangan senja sore di langit negara matahari terbit ini. Jauh  
kumelihat di balik tipis pembatas dunia itu, “Sedang apa kau disana?”  
Tanyaku lirih.
Liku labirin waktu dan jalan terjal telah kita lalui. Suka senang, gelak
  tawa, rindu kepercayaan, saling dukung dan topang, canda tingkah polah
  laiknya bocah, amarah, dendam, cemburu, curiga, selingkuh, khianat,  
diam, hilang perhatian, lupa janji jenuh akan diri masing masing, semua 
 kita cicipi, kita rasai. Merusak dan saling memperbaiki. Terputus lagi 
 dan saling menyambung diri. Menghilang dan saling menemukan. Melemah 
dan  saling menguatkan. Meninggalkan dan saling menantikan.
Tanpa sadar, kubelajar akan makna kesetiaan yang selama ini aku ‘tak  
tahu menahu indahnya itu, semua darimu. Meski melibatkan banyak kaummu  
dan kaumku sebagai peran penting di setiap sekuel lembar cerita roman  
kita. Darimu, aku belajar menghargai sesuatu yang ‘tak bernilai menjadi 
 sesuatu yang tak ternilai.
Setiba di halaman sekolah, kuambil sepedaku yang tangguh, ku kayuh ia  
mengantarku pulang ke peraduan. Kini ku bisa merasakan asli sepoi angin 
 senja hari. Sambil mendengarkan lagu kesukaan kita, kembali kunikmati  
sosokmu yang ‘tak lebih dari bayangan semu.
Silau cahaya senja dengan lugas menerpa semua bagian tubuhku, memaksaku 
 untuk sedikit menyipitkan sepasang mata kecil ini, ah…semua ini terlalu
  indah kulalui tanpamu, gumamku. Sempat terpikir andai bisa kucuil 
senja  yang romantis ini, kubungkus dan ku bawa terbang untuk 
kupersembahkan  padamu. Hingga bisa menciptakan bayang sosok kita 
berdua.
Wajah-wajah pribumi mengisi pemandangan sepanjang jalan kembaliku.  
Segala gurat garis di paras mereka, menyadarkanku bahwa kini ku ‘tak  
lagi membutuhkan cermin waktu untuk ku mengetahui pantulan usia dan beda
  dalam setiap jiwa yang hidup. Mengingatkanku, bahwa ‘tak lama lagi  
angka usia ini bergeser.
Dan untuk kedua kalinya, akan kulewati tanpamu, di sini. Meski kutahu  
kita saling meluangkan waktu di satu malam, untuk menyebut nama  
masing-masing dalam lantunan doa yang seakan menghapus jarak samudera  
liar di sana.
Kasih, tahukah kau? Ikhlas cintamu yang ‘tak berkemas indah dan menawan,
  namun rasa tunggal itu telah selalu menghantarku sebatang kara ke  
negeri sebrang ini. Meyakinkanku, bahwa sederhana rasa kita memegahkan  
segala usaha jerih payah. Memantapkanku, bahwa jauh jarak ini terasa  
terhapus berkat gigih perjuanganmu merangkulku dengan keanggunan tingkah
  laku kelelakianmu.
‘Tak seperti Chairil yang mengurungkan niat ungkapkan rasa saat ia jatuh
  cinta pada Sri Ayati di masa mudanya, kepribadianmu yang latif nan  
lembut dalam memperlakukan ku sebagai perempuan terindah, membuatku  
merasa sangat beruntung dilahirkan sebagai kaumku, dan Sri Ayati ‘tak  
seberuntung aku di masanya.
Ujian bertubi ‘tak lelah berhenti, menerpa niat istiqamah ini. Namun  
yakin diri berikrar, cambuk ruang dan waktu ini menguatkan semua yang  
rapuh dan ragu. Memondasi dan saling memperbaiki. Meniang kokoh dan  
saling mempercayai. Menembok rapat dan saling menjagai. Mencipta atap  
dan saling melindungi.
Kasih, tunggu aku di situ. Kelak ku akan kembali ke rangkul hangatmu dan
  gores seribu kisah anyar nan apik di tiap lembar perkamen roman kita, 
 dan hanya kita. Cengkrama deretan huruf berjejer kita, bak rantai yang 
 menembus bingkai jarak, erat saling mencengkram, ‘tak berjarak ‘tak  
berputus.
idntimes.com