Aku Masih Bernafas Meski Tanpamu, Karena Mencintai Diriku Sendiri itu Lebih Penting dari Apapun
20.20.00 |
|Dia, merajut memori dalam diam. Kesunyian ini begitu memekakkan
telinga. Dalam hati, mengetahui secara pasti bahwa kenangan hari ini
akan menjadi satu lagi ingatan traumatis. Ia hanya diam dan aku
menoleh. Bagaikan bernafas dengan bom waktu yang bisa meledak
sewaktu-waktu.
Hatinya seluas samudra. Awalnya, aku jatuh cinta dengan dengkuran lembut
dan detak jantungnya yang begitu hidup dan begitu dalam. Baru kusadari
betul bahwa aku bukanlah satu-satunya ikan di zona neritiknya.

Aku tahu betul, sejak aku berusia 5 tahun bahwa mencuri mainan dari anak
lain bukanlah hal yang terpuji. Mainan pertama yang kucuri dari
temanku adalah boneka anjing yang sudah bau lembab. Aku tidak pernah
mencuri mainan yang masih baru dan mengkilap. Begitu pula orang yang
sekarang ini duduk di sampingku.
Entah sudah berapa banyak orang yang pernah menghirup aromanya di dalam
mimpi indah yang tak berkesudahan. Entah seberapa banyak kartu As yang
ia simpan untuk dirinya sendiri. Entah sudah berapa kali kakiku
melangkah maju hendak menutup halaman terakhir dari kisah cinta kita.
Apakah momen krusial ini menjadikanku orang yang buruk? Apakah rasa
bersalah karena tidak meninggalkannya sejak awal akan menuai cemooh
orang lain? "Tidak." Jawabku samar di antara lamunannya. Aku bergegas
pergi dan pulang ke rumahku sendiri. Tersenyum tipis seperti hujan
gerimis di siang hari yang terik. Lebih membenci diriku yang sekarang
ini, memutar kembali miliaran ingatan seperti proyektor usang yang
terbengkalai.
Telepon genggam bergetar dalam saku jaketku. Sepuluh pesan masuk
kudapati dari sahabatku. Tidak ada satupun pesan dari dirinya. Aku masih
berharap. Pukul sebelas malam. Aku masih berharap. Tengah malam lewat
lima menit. Aku masih berharap. Pukul tiga subuh, mataku belum
terpejam.
Pertengkaran kami seabstrak lukisan Picasso. Aku masih mengharapkannya
memecah kesunyian di tengah perang dingin ini. Berharap dia akan membuat
lelucon garing khas dirinya.
Diam sejenak, aku merasa bahwa rohku mengapung di dalam kesepian yang absolut. Aku tertidur setengah jam kemudian.
Aku terbangun pukul tujuh pagi. Menatap layar handphone yang berpendar.
Dua puluh pesan selama aku tertidur pulas. Semuanya dari sahabatku. Aku
bergerak malas dan berusaha untuk bangun dari tempat tidurku. Membaca
semua pesan yang tertinggal dari para sahabatku. Seketika aku merasa
lega. Aku bernafas pelan. Seumur hidupku, belum pernah diriku merasa
serileks ini.
Ibuku memberiku roti tawar untuk sarapanku. Ayahku meminum secangkir
kopi pahit tanpa gula. Kakak-kakakku bersenandung pelan dan menggosok
gigi di wastafel. Aku termenung sembari mendengar irama hujan yang
terdengar seperti ratapan. Mereka menanyakan keaadanku. Teman-temanku
tidak berhenti mendengarkan celotehanku. Aku kembali ke kamarku sendiri,
mengambil pena dan menulis lagu diatas kertas bergaris.
"Apa kabar?" Pesannya muncul di layar handphone. Aku tidak membacanya.
Aku meneruskan tulisanku. Aku tidak pernah merasa sebersyukur itu dalam
hidupku. Aku merasakan kekuatan untuk bangkit. Teman-temanku menopangku
dengan nasehat dan candaan mereka yang efektif membuatku bangkit dari
kesedihanku. Mereka tidak mencelaku.
Aku merasakan kekuatan untuk bangkit. Keluargaku mengisi hari-hariku.
Dalam hati berjanji bahwa aku tidak akan lagi mengejar ilusi. Aku
merasakan kekuatan untuk bangkit. Lirik demi lirik yang kutulis, akord
dari laguku yang kususun melalui gitar akustikku yang berusia 6 tahun.
Seniman hebat yang menginspirasi diriku melalui karya mereka.
Aku masih bernafas.
Aku masih bernafas.
Aku masih bernafas.
Mungkin memang tidak semua cerita cinta berakhir bahagia. Sejak awal aku
tidak pernah ingin tahu apa yang terjadi di novel The Notebook.
Mungkin memang tidak semua cerita cinta berakhir tragis. Tirai tidak
pernah menutup di dunia nyata. Dengan kekuatanku yang baru, aku
bergegas menyisir rambutku dan memakai setelan terbaikku.
Kami pernah saling mencintai. Kami pernah mengalahkan dunia bersama-sama
seperti dalam film superhero. Rasa benciku kepadanya sebesar rasa
cintaku kepadanya. Namun apa yang bergerak pergi tak bisa kita
dihindari.
Aku belajar bahwa mencintai diri sendiri dan mencintai apa yang kita
miliki jauh lebih penting dibandingkan menginginkan bintang yang terlalu
jauh untuk diraih. Aku belajar bahwa kesalahanku tidak menjadikanku
orang yang buruk. Aku belajar bahwa hati manusia tidak akan pernah
terlalu besar untuk memaafkan. Aku belajar bahwa kita tidak akan bebas
dari masalah hidup. Dengan mantap, aku mengambil langkah kecil namun
pasti.
Aku masih bernafas.
idntimes.com