Akhirnya Aku Cukup Kuat Untuk Pergi, Setelah Aku Menyadari Aku Bukanlah Rumahmu
20.33.00 |
|
Seseorang bisa sangat menyakitimu, dan yang kamu lakukan hanya menulis
tentangnya untuk membunuh rasa sakit itu. Menyedihkan, bukan?
Malam ini ditemani gerimis, aku berusaha mencari kata-kata yang tepat
untuk menceritakan tentang kamu. Sayangnya, aku tidak bisa menemukan
kata-kata yang tepat. Tidak ada satu kata pun yang muncul dan dirasa
tepat untuk mendeskripsikan kamu, mendeskripsikan kita. Aku juga mencoba
untuk menceritakan kisahku—hari paling bahagiaku—bersama kamu, tapi
yang aku rasakan malah sakit hati yang makin menjadi-jadi.

Kamu menggenggam tanganku hari itu, dengan bodohnya aku membiarkan itu terjadi. Pikiran itu menghantui aku setiap harinya. Sebut aku ketinggalan jaman, tapi mungkin aku bukan gadis ‘masa kini’, dimana memegang tangan lawan jenis adalah hal biasa. Aku benci tanganku dipegang, tapi aku membiarkan kamu menggenggam tanganku hari itu, dan aku masih bisa merasakan genggaman kamu sampai detik ini. Aku tidak menolak, karena jujur ketika kamu memegangnya, rasanya aku seperti kembali pulang ke rumah yang selama ini aku cari.
Tujuan aku mencari kata-kata itu sederhana, aku ingin menulis tentang
kamu. Aku ingin mengabadikan kamu, karena aku dan kamu tidak abadi. Aku
bisa menganggap kamu sebagai rumahku, tapi sayangnya aku mungkin bukan
rumahmu, dan tidak akan pernah menjadi rumahmu.
Aku mungkin salah menjatuhkan hati, tapi aku sudah terlanjur jatuh sejatuh-jatuhnya.
Kamu bukan pria paling ganteng di kota ini, kamu bukan juga pria paling
ganteng menuruku. Kamu bukan atlit profesional. Kamu bukan laki-laki
paling pintar di sekolah. Kamu bukan anak band yang keren. Tapi kamu
adalah kamu, dan kamu spesial sekali sebagaimana adanya kamu. Kamu yang
rendah hati, kamu yang ramah dan perhatian pada semua orang. Kamu yang
selalu aku banggakan pada teman-temanku.
Kamu merupakan tempatku berbagi mimpi-mimpiku, kamu membantuku
membangkitkan mimpi-mimpiku. Kamu mampu membuat segala mimpi anehku
terasa mungkin, terasa nyata, terasa dekat. Kamu yang mau aku ajak pergi
berkelana jauh ke dunia khayalku, tanpa pernah berkata lelah dan minta
pulang kembali ke realita. Aku tahu kamu tidak mengerti dunia itu,
tapi kamu tidak pernah memaksa aku keluar dari dunia itu. Kamu bahkan
tidak menolak untuk bergabung.
Sayangnya, aku akhirnya menyadari bahwa kamu tidak pernah membagi
duniamu dengan aku. Aku akhirnya menyadari bahwa aku bukanlah rumahmu.
Kamu tidak pernah yakin denganku, dan aku baru menyadari itu ketika kamu
bilang kamu tidak tahu dan tidak yakin tentang perasaanmu kepadaku.
Boleh aku marah? Karena aku ingin marah. Aku juga tidak tahu perasaan
ini apa, apa ini benar-benar suka? Benar-benar sayang? Aku juga tidak
tahu. Siapa orang di dunia ini yang bisa mendeskripsikan
perasaan-perasaan itu? Tapi yang aku tahu yang aku rasakan ini nyata,
aku benar-benar jatuh hati, dan kadang hal-hal seperti itu tidak perlu
dimengerti untuk jadi nyata. Ia cukup dirasakan dan diyakini bahwa ia
nyata.
Aku tidak bisa terus berjalan denganmu diatas keraguanmu. Karena
alasan itulah, mungkin aku memutuskan berjalan mundur, dan pergi.
Percayalah bahwa aku butuh keberanian yang amat sangat untuk pada
akhirnya melakukan ini. Aku tidak pernah ingin menyerah pada kamu, pada
kita, tapi aku tidak mungkin terus menjadi satu-satunya yang terus
berusaha. Ketahuilah bahwa aku akan selalu bersyukur akan adanya kamu,
meski sejujurnya akhir ini bukanlah sesuatu yang aku harapkan.
Setidaknya, aku bersyukur kita bisa sama-sama menjadi pelajaran dan
kenangan dalam hidup kita masing-masing.
Dan untukku, kamu adalah pelajaran dan kenangan yang paling manis, setidaknya sampai saat ini. Terima kasih.
idntimes.com